Inspirasi
Home / Inspirasi / Dialog Imajiner, “Diskriminatif…

Dialog Imajiner, “Diskriminatif…

Izin bangun gereja, kadang lebih susah dari izin bikin kafe remang remang.

Tokoh:
Pendeta Jemaat GPIB Bethel Tanjungpinang.
Pak Tigor – Jemaat pria, logis, tajam, sedikit sarkastik
Ibu Yanti – Jemaat wanita, ceria, penuh semangat, vokal soal pendidikan.
Percakapan terjadi di teras gereja usai ibadah minggu syukur HUT Yayasan Pendidikan Kristen GPIB.

Pak Tigor: (mendekati Pdt) Pak Pdt. Boleh saya bertanya?

Tadi dibaca Mazmur 72—doa tentang raja yang adil, pembela kaum tertindas, pembawa damai. Jujur saja, itu kayak raja impian. Tapi kenyataannya, yang adil dan peduli minoritas itu langka. Apalagi soal izin bangun gereja… kadang lebih susah dari izin bikin kafe remang remang.

Pendeta:

Tepat, Pak. Mazmur 72 itu bukan hanya bicara soal raja ideal di masa lalu, tapi visi Allah tentang pemimpin sejati—yang memerintah dengan keadilan ilahi, bukan kepentingan pribadi atau mayoritas.

17 dan 18 Agustus 1945 adalah Peristiwa Sakral Bangsa Indonesia

Dan ya, soal izin rumah ibadah, kita memang masih menghadapi realitas diskriminatif. Seharusnya, pemimpin yang baik bukan hanya mempermudah pembangunan infrastruktur, tapi mengayomi semua umat beragama tanpa pilih kasih.

Ibu Yanti (menyela):

Pak Pendeta, saya guru di sekolah. Kadang anak-anak nanya, “Kenapa kita nggak boleh bangun gereja padahal punya tanah dan umat cukup?” Saya sampai bingung jawabnya. Masa saya bilang, “karena kamu bukan mayoritas”?

Pendeta:

Dan itu luka dalam dunia pendidikan. Ketika anak-anak diajarkan Pancasila dan toleransi, tapi melihat realita yang bertentangan. Maka tugas kita bukan cuma mengajar, tapi membentuk generasi yang kritis dan berani berdiri untuk kebenaran dan keadilan.

Alergi Demokrasi

Pak Tigor:

Kalau pemerintah baca Mazmur 72, mungkin mereka sadar: tugas utama pemimpin adalah menegakkan keadilan, bukan mempersulit yang berbeda.

Pendeta:

Betul. Bahkan dalam ayat 4 dikatakan:

“Ia akan memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas di antara bangsa itu.”

Ketika Kekuasaan Menjadi Absolut

Itu bukan hanya berlaku bagi raja Israel, tapi bagi setiap pemimpin di semua zaman. Pemimpin yang adil itu bukan yang membela yang kuat, tapi yang melindungi yang lemah dan minoritas.

Ibu Yanti:

Kalau begitu, sekolah-sekolah Yapendik harus jadi tempat mendidik anak-anak jadi agen keadilan dan perdamaian, ya Pak Pendeta?

Pendeta:

Amin! Yapendik bukan cuma mencetak anak-anak pintar, tapi anak-anak yang tahu membela yang benar, tidak diam melihat ketidakadilan, dan punya keberanian untuk hidup dalam kasih.

Pak Tigor:

Tapi pendidikan itu juga harus didukung negara. Regulasi harus adil, tidak diskriminatif. Jangan sampai sekolah Kristen kesulitan dapat izin, sementara yang lain dibantu habis-habisan.

Pdt. Nico:

Dan di sinilah Mazmur 72 berbicara sangat profetik:

“Ia akan seperti hujan yang turun ke padang rumput, seperti siraman yang membasahi bumi.”

Artinya: pemimpin yang baik itu memberi kehidupan dan kelegaan buat semua, bukan tekanan dan ketimpangan. Sekarang ini sekolah negeri mulai bagus. Mutunya meningkat karena kucuran dana dari pemerintah, namun apes nasib sebagian besar sekolah sekolah swasta kristen. Mereka mulai kehilangan murid dan krisis dana dan daya. Hanya doa yang surplus.

Ibu Yanti:

Saya pikir, HUT Yapendik ini bisa jadi momen gereja bersuara, bukan cuma merayakan. Kita rayakan dengan komitmen membela keadilan juga, bukan hanya potong kue.

Pendeta (serius namun tenang):

Tepat, Bu Yanti. Pendidikan adalah medan perjuangan, bukan sekadar rutinitas sekolah. Kita butuh guru-guru yang bukan cuma pintar, tapi juga prophetik—berani bersuara, mendidik dengan hati nurani, bukan hanya kurikulum.

Pak Tigor:

Dan kita butuh pemerintah yang seperti raja dalam Mazmur 72—adil, peduli, dan sadar bahwa Tuhan di atas segala kuasa. Tidak takut berlaku adil. Jangan menyembunyikan fakta tindakan intoleransi, di sebut hanya kesalahpahaman.

Penutup:

Pendeta, Pak Tigor, dan Ibu Yanti (berseru serempak):

“Pemerintah harus adil! Gereja harus merdeka beribadah! Anak-anak harus bebas belajar dalam kasih Tuhan!” Tugas kita terus doakan pemerintah.

Refleksi Akhir:

Mari kita rayakan HUT Yapendik ini dengan semangat perubahan dan pembaruan, bukan sekadar seremoni. Kita butuh pendidikan yang membebaskan, tidak mendiskriminasi. Kita ingin menghasilkan anak-anak yang berdiri teguh dalam kasih Kristus serta berani memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kasih bagi semua orang tanpa diskriminasi.

Karena jika keadilan dan damai sejahtera tumbuh di ruang kelas, maka suatu hari nanti akan hidup pula dalam dunia pemerintahan, hukum, dan masyarakat. Amin.

Oleh: Nicodemus Boenga, Pendeta GPIB

Latest Posts

Polling Bakal Calon Sekretaris Umum Majelis Sinode GPIB 2025-2030

Pilih bakal calon yang anda inginkan untuk menjadi Sekretaris Umum Majelis Sinode GPIB 2025 - 2030

View Results

 Loading ...

Berita Populer

01

Tuli Mendadak, Tradisi Sejak Dini di Jabatan Fungsionaris

02

Ketok Magic Pendeta, Menggunakan Ayat Kolusi dan Ayat Nepotisme

03

Sang Raja, Sang Ratu di Jemaat

04

JANGAN DIPILIH, Kontestan yang Tukar Guling Jabatan…

05

Pemimpin Arogan, Jangan Jadi Role Model

Ragam Berita



Sang Raja, Sang Ratu di Jemaat



Pemimpin Arogan, Jangan Jadi Role Model


Exit mobile version