Mutasi bagaikan penyakit yang sudah jauh berkelindan, jauh berkelana dan tertanam begitu kuat dan dalam, dan harus ada effort yang lebih kuat untuk mengangkat radixnya….
Jakarta, gpibwatch.id – Bulan Agustus, Bulan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, kita semua akan merayakan, menyambut dan memeriahkan Hari Ulang Tahun yang ke – 80. Bulan ini dalam pelayanan bergereja biasa disebut sebagai bulan kebangsaan, bulan yang membicarakan kehidupan berdemokrasi baik dalam scope kecil maupun lingkup luas.
Bulan kebangsaan ini kadang digunakan untuk sharing demokrasi yang terus digaungkan agar kehidupan demokrasi, kehidupan toleransi dapat terus dibina dan terus dijaga agar kerukunan yang hakiki dalam perbedaan dapat terwujud.
Salah satu ciri demokrasi adalah kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan sikap tanpa takut dihukum dan semangat demokrasi yang harus dijunjung tinggi adalah kesetaran, keadilan dan kasih.
Pertanyaan yang selalu mengemuka, sudahkah kita menjalankan demokrasi kasih berbasis keadilan dalam pelayanan, demokrasi yang menghargai dan menghormati setiap pendapat orang lain yang berbeda, khususnya kita dalam kehidupan pelayanan bergereja dan berjemaat.
Mengambil contoh dalam setiap persidangan sinode yang berlangsung secara berkala, baik yang dilangsungkan setahun sekali maupun lima tahun sekali, kita bisa melihat bagaimana para utusan jemaat yang selalu bertanya dan mengemukakan pendapatnya, personilnya itu saja, artinya ada demokrasi ketakutan dari personil lainnya yang hadir disidang untuk mengajukan pertanyaan, persepsi dan gagasannya.
Mengapa ini bisa terjadi, karena demokrasi yang ada selama ini hanya bertopeng, terbuka menerima masukan dan pertanyaan, namun dampak dan efeknya bagi penanya adalah di mutasi jika berbeda pendapat dengan majelis sinode.
Mutasi bagaikan penyakit yang sudah jauh berkelindan, jauh berkelana dan tertanam begitu kuat dan dalam, dan harus ada effort yang lebih kuat untuk mengangkat radixnya.
Inilah yang selama ini terjadi, para pelayan selalu mengatakan kita satu, kita ber-sunhodos, kita mengikuti perintah majelis sinode, namun yang sebenarnya dibungkus dengan pemberontakan profetik karena tak sejalan dengan hati nurani, pikiran terpasung dan terkebiri, mutated mind selalu menghantui, yang membuat ide kreatif, ide cemerlang tidak berkembang alias stagnasi.
Mutasi menjadi momok yang menakutkan bagi para pendeta, ketua majelis jemaat, mutasi membuat demokrasi tervasektomi, demokrasi terikat tali beton dan keadaan seperti ini sudah terjadi dari tahun ke tahun sehingga sulit untuk merubah paradigma berpikir mereka yang sudah terkontaminasi dengan demokrasi ketakutan mutasi.
Mutasi disease atau penyakit mutasi harus cepat dilenyapkan, harus dibuang jauh dari pikiran beku, mutasi disease jangan ditumbuh kembangkan, sangat berbahaya untuk kehidupan pelayanan selanjutnya, mutasi membuat para pendeta, KMJ resah dalam pikiran terbelenggu yang tak bisa diaspirasikan.
Mari hadirkan demokrasi sebagai nilai dalam kehidupan bersama, yang bisa menghormati suara orang lain yang berbeda, membangun dialog yang jujur, tidak memaksakan kehendak dan memerima perbedaan sebagai kekuatan, bukan sebaliknya menggunakan tangan kekuasaan untuk melengserkan psikis sesorang serta memutasikan orang tersebut sebagai hukuman. ewako-mappakoe@gpibwatvh.id (JP)