JAKARTA, GPIB Watch – Pdt. Jeniffer F. P. Pelupessy-Wowor sangat setuju anak-anak dilibatkan untuk mengikuti sakramen Perjamuan Kudus sebagaimana orang-orang dewasa.
“Gereja-gereja anggota World Communion of Reformed Churches (WCRC) juga telah mulai memberlakukan perjamuan kudus anak sejak lama. GPIB sendiri adalah anggota dari WCRC. Sinode GKI sw Jateng memulainya dengan melakukan pembahasan secara serius tentang topik ini,” kata Pdt. Jeniffer.
Menurutnya, sikap masyarakat yang memarginalkan anak-anak amat kontras dengan tekanan Yesus bahwa anak-anak adalah empunya Kerajaan Allah.
Dalam Gereja Perdana, anak-anak diizinkan hadir dalam Sakramen Perjamuan Kudus. Dalam masa Bapa-bapa Gereja, Augustinus (354-430) cukup memberi pengaruh dalam pemahaman sakramen perjamuan kudus.
Agustinus mendukung sakramen perjamuan kudus bagi semua orang yang telah dibaptis termasuk anak-anak karena melihat keselamatan dari Tuhan yang tidak memisahkan namun menyatukan tanpa membeda-bedakan.
Senada dengan Pdt. Jeniffer, Pdt. Stephen Sihombing mengatakan, menolak anak-anak untuk turut serta dalam Perjamuan Kudus atas dasar ketidaksiapan kognitif sejatinya mengabaikan dimensi pedagogis dan pastoral dari gereja itu sendiri.
Perjamuan Kudus bukan hanya soal pengertian rasional, melainkan juga pengalaman spiritual. Di sinilah peran orangtua menjadi sentral sebagai pendidik iman pertama, yang membimbing anak memahami bahwa roti dan anggur adalah lambang kasih dan pengorbanan Kristus.
Pendidikan iman bukan proses instan. Gereja yang terbuka untuk Perjamuan Kudus Anak tidak serta-merta menghapus nilai-nilai pengujian diri dan kesadaran akan makna sakramen. Sebaliknya, gereja harus memfasilitasi pendidikan sakramental yang terus-menerus, di mana anak-anak diperlengkapi untuk mengalami Kristus secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Inilah proses iman yang transformatif.
Mengizinkan anak-anak mengikuti Perjamuan Kudus bukan semata-mata bentuk adaptasi zaman atau modernisasi teologi. Ia adalah langkah profetik yang menunjukkan bahwa gereja berani melampaui batas-batas institusional demi kasih yang lebih besar. Seperti kata Marcus Borg, gereja harus memilih hikmat alternatif dan masuk melalui jalan yang sempit, daripada hanya mengikuti kebiasaan konvensional yang mapan.
Kini saatnya GPIB melangkah lebih jauh, bukan dengan pengabaian terhadap tradisi, tetapi dengan keberanian untuk menafsir ulang demi generasi yang bertumbuh. Gereja yang inklusif bukan hanya gereja yang terbuka pintunya, tetapi yang juga membuka mejanya bagi semua. Termasuk anak-anak. ***