Presbiter harus menjadi penyampai kebenaran, bukan manajer liturgi. Dalam era banjir informasi dan kabut disinformasi, mereka harus berani menyampaikan nubuatan…
AKADEMISI Pdt. Yonky Karman, Ph.D., mengatakan, Kitab Yesaya bukan sekadar kumpulan kalimat puitis, tapi dokumen yang penuh kritik terhadap kemunafikan agama.
“Tuhan tidak butuh pujian dari bibir, tapi keadilan dari hati,” kata Pdt. Yonky di acara Seminar Alkitab GPIB, Sabtu, 10 Mei 2025 seperti disampaikaan Pdt. Stephen Sihombing, MTh kepada Arcus GPIB.
Yesaya, seperti digambarkan oleh Yonky, bukan sekadar nabi masa lalu. Ia adalah suara masa kini, mengingatkan gereja untuk tidak mengulang dosa sosial: ketidakadilan, kekerasan, dan korupsi yang tetap mengendap meski umat sudah “kembali dari pembuangan”. Gereja modern mungkin punya gedung baru dan liturgi kreatif, tapi apakah itu tanda keselamatan sejati?
Umat Allah saat itu, seperti sekarang, jatuh ke dalam formalisme kosong. Dan di sinilah letak panggilan gereja dan para presbiter: menyampaikan teguran ilahi tanpa bersembunyi di balik liturgi.
Pelajaran penting bagi gereja, Tuhan bisa memakai siapa saja, bahkan dari luar tembok gereja untuk melakukan kehendak-Nya, saat gereja sibuk membangun eksklusivisme iman.
Konteks itu menyentuh titik sensitif bagi gereja: apakah gereja telah menjadi terang dunia atau hanya lilin untuk perayaan sendiri? Gereja yang sibuk dengan keamanan Natal, polisi berjaga di pintu gereja, apakah sungguh ada ancaman atau hanya takut bayangan sendiri karena gagal menjadi saksi yang tulus?
Presbiter harus menjadi penyampai kebenaran, bukan manajer liturgi. Dalam era banjir informasi dan kabut disinformasi, mereka harus berani menyampaikan nubuatan yang penuh, bukan versi ringan agar tak menyinggung. Gereja harus menjadi saksi yang nyata, bukan hanya turis rohani yang terobsesi pada Israel modern tanpa mempedulikan kemiskinan di halaman gereja sendiri.
Yesaya adalah nabi di zaman krisis, dan gereja hari ini ada di zaman yang tak kalah guncang. Mungkin bukan karena invasi asing, tapi karena kekosongan spiritual dan penyempitan misi. Gereja tidak hanya butuh teologi yang benar, tapi juga hati yang peka dan keberanian untuk melawan ketidakadilan, mulai dari mimbar hingga meja pelayanan jemaat.
Gereja, terutama para presbiternya dipanggil untuk menjadi perpanjangan suara nubuatan itu: membela yang lemah, menegur yang lalim, dan menyalakan kembali pelita iman di tengah dunia yang nyaris padam. ***