Inspirasi
Home / Inspirasi / Ketika Kekuasaan Menjadi Absolut

Ketika Kekuasaan Menjadi Absolut

Kita melihat keberanian Mordekhai menentang moralitas masyarakatnya dan berisiko menghadapi ancaman kematian.

SURABAYA, gpibwatch.id“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, adagium ini dikatakan oleh seorang filsuf dan sejarawan asal Inggris, Lord Acton. Acton merefleksikan pikirannya ini karena ia melihat suatu realitas yang ada di depan matanya.

Acton sadar sekali bahwa ketika kekuasaan menjadi absolut, maka kekuasaan akan bisa menindas semua orang yang berseberangan yang dapat dianggap sebagai lawannya. Adagium tadi bisa dipakai untuk menyoroti kebiasaan dan perilaku para penguasa pada masa lalu, dalam hal ini penguasa pada zaman Mordekhai sebagaimana kita baca dalam kitab Ester 3:1-6 dan seterusnya.

Sebagaimana diketahui dalam bacaan tadi, bahwa Haman mendapatkan kekuasaan yang sangat tinggi dan sangat dihormati oleh masyarakat saat itu. Dengan didapatnya kekuasaan yang tinggi itu, atas perintah raja Ahasyweros yang tentunya disukai juga oleh Haman, bahwa semua orang harus menyembah Haman.

Kata “berlutut dan sujud’ yang dipakai di sini, bukan sekedar menghormati. Dalam kaidah rasa berbahasa orang Yahudi, juga bangsa-bangsa saat itu, berlutut dan sujud adalah suatu sikap penyembahan dan penyerahan total pada seseorang atau dewa/tuhan.

Alergi Demokrasi

Dengan sikap berlutut dan bersujut itu berarti orang yang padanya kita berlutut dan bersujud telah menjadikan dirinya sama seperti dewa. Karena dewa memiliki semua kuasa dan wewenang, maka itu berarti manusia siap diperlakuan apa saja sesuai kehendak penguasa.

Sikap ini tidak bisa diterima oleh Mordekhai. Bagi Mordekhai hanya Allah saja yang boleh disembah, tidak yang lain termasuk raja sekalipun. Bagi Mordekhai, penguasa atau siapapun setara dengannya, dan karena itu semua orang tanpa kecuali punya kesempatan yang sama dan bahkan harus diperlakukan secara manusiawi.

Berlutut dan bersujud tidak boleh ditujukan kepada siapapun selain pada Tuhan. Di sini kita melihat keberanian Mordekhai menentang moralitas masyarakatnya dan berisiko menghadapi ancaman kematian. Sikap berlutut dan bersujud pada Tuhan adalah suatu sikap penyerahan total pada kedaulatan Tuhan yang diyakini selalu melindungi, memberkati, dan mengasihi umat-Nya.

Sikap melindungi, memberkati, dan mengasihi adalah sikap yang melihat makhluk lain bukan sebagai bawahan yang dapat ditindas semuanya. Kasih adalah sikap yang melihat dan memperlakukan makhluk lain seperti diri-Nya. Ini sangat bertentangan dengan semangat dewa yang disembah dan diikuti Ahasyweros, Haman, dan masyarakat saat itu. Suatu sikap yang menganggap yang lain sebagai rendahan dan patut diperlakukan seenaknya.

Sikap Mordekhai ini juga memperlihat suatu sikap yang otentik, yang didasari semangat kebebasan memilih sekalipun kebebasan itu beresiko maut. Bagi Mordekhai kebebasan menjadi jantung kehidupannya. Ia bebas memilih berlutut dan bersujut atau tidak pada Haman. Mordekhai memilih tidak!

Merdeka, yang Miskin Termarjinalkan

Pada 17 Agustus 1945, pukul 10.00 WIB, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Indonesia saat itu memilih untuk merdeka dan tidak mau tunduk kepada penjajahan dalam bentuk apapun.

Hal itu semain dipertegas pada tanggal 18 Agustus 1945 yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang dihayati sebagai berisikan nilai luhur bersejarah bangsa Indonesia, yang menyatakan pada alinea pertama, “…bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…” Serta dilanjutkan pada alinea ketiga dengan semacam “Pengakuan Iman Bersama” bangsa Indonesia, “…Atas berkat rahmat Tuhan yang mahakuasa…maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya…”

Lewat proklamasi kemerdekaan Indonesia bangsa ini bertekat untuk hidup dalam alam kemerdekaan dengan memperlakukan semua manusia secara setara.

Pertanyaan buat kita adalah betulkah sekarang ini kita merdeka seutuhnya? Adakah kesetaraan yang hakiki disemua lini di berbagai daerah? Jika jawabannya “ya”, maka kita harus terus menjaga, merawat, mengisi, dan bahkan mengembangkannya bersama-sama.

Namun jika jawabannya “tidak”, maka kita seharusnya tidak tinggal diam dan hanya menggerutui nasip malang. Gereja/orang-orang Kristen harus punya keberanian dengan suara lantang mendidik bangsa ini agar menghargai kesetaran dan kebebasan untuk merdeka yang sudah diperjuangkan oleh para leluhur bangsa Indonesia, yang adalah anugerah Tuhan yang terbesar bagi bangsa Indonesia.

Suci Merah Putihku…

Kesetaraan dan kebebasan seharusnya menjadi jantung, nadi, nafas, dan otak setiap laku hidup bangsa Indonesia, dan menjadi dasar berteologi gereja-gereja (agama-agama) Indonesia. Tuhan Yesus memberkati. Merdeka! /dr

Related Posts

Latest Posts

Polling Bakal Calon Sekretaris Umum Majelis Sinode GPIB 2025-2030

Pilih bakal calon yang anda inginkan untuk menjadi Sekretaris Umum Majelis Sinode GPIB 2025 - 2030

View Results

Loading ... Loading ...

Berita Populer

01

Tuli Mendadak, Tradisi Sejak Dini di Jabatan Fungsionaris

02

Ketok Magic Pendeta, Menggunakan Ayat Kolusi dan Ayat Nepotisme

03

Sang Raja, Sang Ratu di Jemaat

04

JANGAN DIPILIH, Kontestan yang Tukar Guling Jabatan…

05

Pemimpin Arogan, Jangan Jadi Role Model

Ragam Berita



Sang Raja, Sang Ratu di Jemaat



Pemimpin Arogan, Jangan Jadi Role Model