Opini
Home / Opini / Jika Pendetamu Hedonism,…

Jika Pendetamu Hedonism,…

Repro: bfi.co.id

Gaya hidup HEDONIS adalah DOGMA IBLIS yang merusak. Demikian disampaikan Pendeta Dr. Bernalto Ph.D seperti dikutip laman victoriousnews.com. Menurutnya, “Iblis mau kita pamerkan HEDONIS dan bukan pamerkan KASIH KRISTUS.”

Lalu bagaimana kalau pendeta atau hamba Tuhan yang bergaya hidup hedonism? Situs quora.com menyentil tegas sebagaimana disampaikan Kevin Nobel. “Jika pendeta di gereja Anda hidup hedon, maka kemungkinan besar uang perpuluhan Anda masuk ke dalam kantong pribadi pendeta, dan bukan kepada gereja.”

Jika Anda merasa kurang selaras dengan motivasi seperti itu, maka berpindahlah ke gereja yang mengatur uang perpuluhan dengan baik.

Gereja yang baik mengalirkan dana untuk pekerjaan-pekerjaan yang membangun kemanusiaan. Jika gereja tidak melakukan itu, saya khawatir bahwa itu akan menjadi sebuah bisnis.

Ingin mengetahui seberapa banyak gereja itu berbuat baik, bandingkan proposi uang yang masuk, uang yang keluar untuk kebutuhan pribadi pendeta, dan uang yang dikeluarkan untuk kebutuhan sosial.

JANGAN DIPILIH, Kontestan yang Tukar Guling Jabatan…

HEDONISME, seperti dilansir situs hidupkatolik.com menyebutkan, secara populer sering dimengerti sebagai gaya hidup senang-senang. Singkatnya: cari kesenangan dan hindari derita. Di balik fenomena ini ada pandangan filosofis dan psikologis, yang melihat bahwa kebahagiaan manusia tercapai bila orang memperoleh kenikmatan (pleasure) sebanyak mungkin, dan terjauhkan dari penderitaan (pain).

Itulah sebabnya disebut hedonism; hedon, dalam bahasa Yunani berarti kenikmatan. Kenikmatan dan derita ini dilihat secara psikologis sebagai dua kutub, yang menentukan tindakan dan pilihan manusia.

Kenikmatan sendiri umumnya dimengerti secara luas, meliputi semua perasaan atau pengalaman yang menyenangkan: kepuasan, kegembiraan, ekstasi, euforia, syukur, kegirangan, dan sebagainya. Ada kebutuhan alami, dan ada kebutuhan yang melampaui kebutuhan alami.

Tidak heran dalam hedonisme ada juga pandangan yang memahami kenikmatan bukan hanya sebatas pemuasan kebutuhan alami saja, tetapi melampauinya, yaitu kenikmatan dicapai justru ketika orang bisa melampaui kebutuhan alami itu.

Dengan pelampauan semacam itu orang bisa mecapai ketenteraman jiwa yang tenang, kebebasan dari perasaan risau, dan keadaan seimbang. Sayangnya, hedonisme populer menekankan kenikmatan alami itu dan mengejarnya secara berlebihan: kenikmatan ingin dikejar sepuas-puasnya, suatu usaha yang sebenarnya tak pernah tercapai karena tidak pernah terpuaskan secara menetap.

Menggunakan Duit, Sebagai Topeng dalam Pelayanan

Salah satunya penyebab meluasnya hedonisme zaman sekarang kiranya adalah pengaruh media sosial, yang secara masif memamerkan gaya hidup ini. Kemewahan, pesta pora serta kehidupan glamor tampil mengglobal tanpa malu-malu.

Akibatnya terbangunlah opini dan idealisme sosial, yang selalu ingin menampakkan wajah bahagia dan kemakmuran sebagai wajah kehidupan sukses dan idaman. Selain itu, secara pribadi orang suka memberi alasan self reward sesudah bekerja keras. “Apa salahnya?

Kita kan harus menghargai diri sendiri. Kalau bukan kita yang memanjakan diri, siapa lagi?” Semua itu ditambah lagi kemudahan belanja dengan berbagai pilihan menarik, yang tentu saja memicu semangat konsumtif.

Dosakah? Keinginan untuk hidup baik sebagai hasrat kodrati tentu saja bukan merupakan dosa. Namun bila hasrat itu menjadi terlalu dominan, dan kemudian memperbudak kita, hasrat itu bisa memicu dosa.

Seperti dikatakan Katekismus, “Supaya mengerti, apa sebenarnya dosa itu, orang lebih dahulu harus memperhatikan hubungan mendalam antara manusia dan Allah. Kalau orang tidak memperhatikan hubungan ini, kejahatan dosa tidak akan dibuka kedoknya dalam arti yang sebenarnya – sebagai penolakan Allah, sebagai pemberontakan terhadap-Nya – walaupun ia tetap membebani kehidupan dan sejarah manusia”.

Bebek Lumpuh, Akibat Ulah Sendiri

Orang hedonis bisa memberi alasan macam-macam untuk membenarkan diri. Namun hedonisme bisa mengganggu hubungan kita dengan Tuhan dan merusak martabat manusia.

Selain bahaya kesombongan, orang bisa menjadi sangat boros dan konsumtif, serta melupakan solidaritas sesama. Kita bisa lupa bahwa setiap harta yang diberikan Tuhan memiliki nilai sosial, sehingga pemakaiannya tidak boleh hanya terfokus pada diri sendiri.

Banyak orang tersisih, meskipun tinggal di bumi yang sama, karena akses atas hidup yang layak terhambat karena ketidakadilan. Termasuk panggilan solidaritas adalah tanggung jawab terhadap lingkungan hidup dan keutuhan ciptaan yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan alam ini secara bertanggung jawab.

Iman mengajarkan bahwa nilai hidup sejati bukan terletak hanya dalam pemenuhan hasrat, tetapi dalam persekutuan dengan wafat dan kebangkitan Kristus sendiri. Di sana salib dan penderitaan bukan dihindari, melainkan diterima sebagai jalan persatuan kita dengan Yesus dan karya keselamatan-Nya. Orang Kristen sejati akan memilih gaya hidup yang seimbang dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan sesamanya. ***

Berita Populer

01

Bebek Lumpuh, Akibat Ulah Sendiri

02

JANGAN DIPILIH, Kontestan yang Tukar Guling Jabatan…

03

Menggunakan Duit, Sebagai Topeng dalam Pelayanan

04

30 Kontestan Berani Tampil, Tanpa Takut di Mutasi

05

Jika Kritikan Dianggap Pembangkangan, Peluru Mata Pena Digital Berbicara

Ragam Berita

Bebek Lumpuh, Akibat Ulah Sendiri






× Advertisement
× Advertisement