Jakarta, gpibwatch.id – Judul artikel ini diperoleh dari penggalan kalimat yang disampaikan oleh Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Pendeta Darwin Dharmawan saat menyampaikan sambutan pada hari ulang tahun ke 60 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah DKI Jakarta.
Jemaat ataupun masyarakat kristiani di Indonesia tentunya, belum begitu familiar dengan kata “Pemberontakan Profetik”.
Pemberontakan profetik adalah sebuah konsep yang menggabungkan dua hal yang tampaknya bertolak belakang: pemberontakan dan kenabian (profetik). Dalam konteks ini, pemberontakan tidak merujuk pada kekerasan atau anarki, melainkan pada sikap kritis, tegas, dan berani melawan ketidakadilan, penindasan, serta segala bentuk penyimpangan moral dan sosial. Sementara itu, kata “profetik” merujuk pada peran para nabi dalam sejarah, yang sering kali dipanggil untuk menyuarakan kebenaran ilahi kepada bangsa yang telah menyimpang dari jalan keadilan dan kasih. Maka, pemberontakan profetik adalah bentuk perlawanan moral dan spiritual yang berakar pada nilai-nilai iman, kasih, dan keadilan.
Dalam praktiknya, pemberontakan profetik menuntut keberanian untuk menjadi suara kenabian di tengah masyarakat yang acap kali kompromistis terhadap dosa struktural — seperti korupsi, kekerasan, ketimpangan ekonomi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr., Mahatma Gandhi, hingga para nabi dalam Kitab Suci, seperti Nabi Yesaya dan Nabi Amos menjadi contoh nyata dari pemberontakan profetik. Mereka tidak diam ketika ketidakadilan terjadi; mereka bertindak, namun dengan dasar kasih, iman, dan pengharapan. Pemberontakan mereka bukan sekadar reaksi emosional, melainkan respons spiritual yang bertujuan memulihkan martabat manusia dan membangun tatanan yang adil.
Bagi komunitas beriman, terutama gereja, panggilan untuk melakukan “pemberontakan profetik” berarti menolak menjadi penonton pasif dalam dunia yang terluka. Ini adalah ajakan untuk hidup sebagai garam dan terang, tidak takut menyuarakan kebenaran walau harus berhadapan dengan risiko. Pemberontakan ini bukan untuk memecah-belah, tetapi untuk mengingatkan, menyadarkan, dan memulihkan arah moral bangsa dan umat. Dengan demikian, pemberontakan profetik adalah tindakan iman yang berani, yang menggabungkan kasih, keadilan, dan tanggung jawab profetik di tengah realitas dunia yang sering kali tidak adil. (red)